Suku Sasak adalah sebuah kelompok etnik yang menduduki pulau Lombok di Indonesia dan berjumlah sebanyak 2.6 juta orang (85% penduduk Lombok). Mereka mempunyai hubung kait dengan orang Bali dari segi budaya dan bahasa.
Isi kandungan
|
Bahasa
Bahasa
Sasak merupakan anggota suku kumpulan bahasa Bali-Sasak-Sumbawa, dalam
cabang bahasa Melayu-Polinesia Barat dalam keluarga bahasa
Austronesia.
Sejarah
Tidak
banyak yang diketahui mengenai sejarah Sasak melainkan Lombok
merupakan sebuah pulau yang dijajah secara langsung oleh perdana menteri
kerajaan Majapahit, patih Gajah Mada. Masyarakat Sasak memeluk agama Islam dari lewat kurun ke-16 hingga awal kurun ke-17 di bawah pengaruh Sunan Giri dan orang Muslim Makassar.
Namun ada di antara mereka yang telah mencampuraduk ajaran agama Islam
dengan fahaman Hindu dan Buddha untuk mencipta sebuah agama baru yang
dikenali sebagai Wetu Telu. Lombok dijajahi kerajaan Bali Gelgel
pada awal kurun ke-18 dan dengan itu membawa ramai penduduk Bali ke
Lombok. Bilangan mereka yang berketurunan Bali di Lombok sekarang adalah
lebih kurang 300,000 orang, iaitu 10-15% jumlah penduduk Lombok.
Masyarakat Bali juga telah memberi pengaruh yang kuat pada agama Wetu
Telu.
Agama
Majoriti orang Sasak adalah penganut agama Islam yang ortodoks dan mereka dikenali sebagai penganut Wektu Lima. Wektu Lima atau Waktu Lima merujuk kepada amalan orang Islam yang bersembahyang lima kali sehari.
Istilah Wektu Lima ini digunakan untuk membezakan mereka dari orang Sasak yang mengamalkan agama Islam tempatan yang dikenali sebagai Wetu Telu, yang hanya bersembahyang tiga kali sehari.
Terdapat
ramai penganut Wetu Telu di sekitar pulau Lombak tetapi bilangan
mereka yang paling banyak adalah di kampung Bayan, tempat di mana agama
itu dilahirkan. Golongan besar Wetu Telu juga boleh didapati di
Mataram, Pujung, Sengkol, Rambitan, Sade, Tetebatu, Bumbung, Sembalun,
Senaru, Loyok dan Pasugulan. Terdapat juga sebuah kumpulan kecil orang
Sasak yang digelar Bodha (jumlah: 8000 orang) yang menduduki kampung Bentek dan di curam Gunung Rinjani. Agama mereka tidak mempunyai pengaruh Islam dan amalan utama mereka adalah memuja dewa-dewa animisme. Ajaran agama HinduBuddha juga dimasukkan di dalam upacara agama mereka. dan
Agama
Bodha mempercayai adanya lima tuhan yang besar, yang paling tinggi
dikenali sebagai Batara Guru. Tuhan yang lain adalah Batara Sakti and
Batara Jeneng bersama isteri mereka Idadari Sakti dan Idadari Jeneng.
Namun kini, penganut agama Bodha sedang diajarkan mengenai agama Buddha
yang ortodoks oleh sami-sami yang dihantar oleh persatuan besar Buddha
terbesar negara Indonesia.
Arsitektur dan Budaya
Suku mayoritas di Lombok, NTB. Sebagai penduduk asli, suku Sasak telah mempunyai sistem budaya sebagaimana terekam dalam kitab Nagara Kartha Gama karangan Empu Nala dari Majapahit. Dalam kitab tersebut, suku Sasak disebut “Lomboq Mirah Sak-Sak Adhi.” Jika saat kitab tersebut dikarang suku Sasak telah mempunyai sistem budaya yang mapan, maka kemampuannya untuk tetap eksis sampai saat ini merupakan salah satu bukti bahwa suku ini mampu menjaga dan melestarikan tradisinya.Salah satu bentuk dari bukti kebudayaan Sasak adalah bentuk bangunan rumah adatnya. Rumah bukan sekadar tempat hunian yang multifungsi, melainkan juga punya nilai estetika dan pesan-pesan filosofi bagi penghuninya, baik arsitektur maupun tata ruangnya. Rumah adat Sasak pada bagian atapnya berbentuk seperti gunungan, menukik ke bawah dengan jarak sekitar 1,5-2 meter dari permukaan tanah. Atap dan bubungannya (bungus) terbuat dari alang-alang, dindingnya dari anyaman bambu, hanya mempunyai satu berukuran kecil dan tidak ada jendelanya. Ruangannya (rong) dibagi menjadi inan bale (ruang induk) yang meliputi bale luar (ruang tidur) dan bale dalem berupa tempat menyimpan harta benda, ruang ibu melahirkan sekaligus ruang disemayamkannya jenazah sebelum dimakamkan.
Ruangan bale dalem dilengkapi amben, dapur, dan sempare (tempat menyimpan makanan dan peralatan rumah tangga lainnya) terbuat dari bambu ukuran 2 x 2 meter persegi atau bisa empat persegi panjang. Selain itu ada sesangkok (ruang tamu) dan pintu masuk dengan sistem geser. Di antara bale luar dan bale dalem ada pintu dan tangga (tiga anak tangga) dan lantainya berupa campuran tanah dengan kotoran kerbau atau kuda, getah, dan abu jerami. Undak-undak (tangga), digunakan sebagai penghubung antara bale luar dan bale dalem.
Hal lain yang cukup menarik diperhatikan dari rumah adat Sasak adalah pola pembangunannya. Dalam membangun rumah, orang Sasak menyesuaikan dengan kebutuhan keluarga maupun kelompoknya. Artinya, pembangunan tidak semata-mata untuk mememenuhi kebutuhan keluarga tetapi juga kebutuhan kelompok. Karena konsep itulah, maka komplek perumahan adat Sasak tampak teratur seperti menggambarkan kehidupan harmoni penduduk setempat.
Bentuk rumah tradisional Lombok berkembang saat pemerintahan Kerajaan Karang Asem (abad 17), di mana arsitektur Lombok dikawinkan dengan arsitektur Bali. Selain tempat berlindung, rumah juga memiliki nilai estetika, filosofi, dan kehidupan sederhana para penduduk di masa lampau yang mengandalkan sumber daya alam sebagai tambang nafkah harian, sekaligus sebagai bahan pembangunan rumah. Lantai rumah itu adalah campuran dari tanah, getah pohon kayu banten dan bajur (istilah lokal), dicampur batu bara yang ada dalam batu bateri, abu jerami yang dibakar, kemudian diolesi dengan kotoran kerbau atau kuda di bagian permukaan lantai. Materi membuat lantai rumah itu berfungsi sebagai zat perekat, juga guna menghindari lantai tidak lembab. Bahan lantai itu digunakan, oleh warga di Dusun Sade, mengingat kotoran kerbau atau sapi tidak bisa bersenyawa dengan tanah liat yang merupakan jenis tanah di dusun itu.
Konstruksi rumah tradisional Sasak agaknya terkait pula dengan perspektif Islam. Anak tangga sebanyak tiga buah tadi adalah simbol daur hidup manusia: lahir, berkembang, dan mati. Juga sebagai keluarga batih (ayah, ibu, dan anak), atau berugak bertiang empat simbol syariat Islam: Al Quran, Hadis, Ijma’, Qiyas). Anak yang yunior dan senior dalam usia ditentukan lokasi rumahnya. Rumah orangtua berada di tingkat paling tinggi, disusul anak sulung dan anak bungsu berada di tingkat paling bawah. Ini sebuah ajaran budi pekerti bahwa kakak dalam bersikap dan berperilaku hendaknya menjadi panutan sang adik.
Rumah yang menghadap timur secara simbolis bermakna bahwa yang tua lebih dulu menerima/menikmati kehangatan matahari pagi ketimbang yang muda yang secara fisik lebih kuat. Juga bisa berarti, begitu keluar rumah untuk bekerja dan mencari nafkah, manusia berharap mendapat rida Allah di antaranya melalui shalat, dan hal itu sudah diingatkan bahwa pintu rumahnya menghadap timur atau berlawanan dengan arah matahari terbenam (barat/kiblat). Tamu pun harus merunduk bila memasuki pintu rumah yang relatif pendek. Mungkin posisi membungkuk itu secara tidak langsung mengisyaratkan sebuah etika atau wujud penghormatan kepada tuan rumah dari sang tamu.
Kemudian lumbung, kecuali mengajarkan warganya untuk hidup hemat dan tidak boros sebab stok logistik yang disimpan di dalamnya, hanya bisa diambil pada waktu tertentu, misalnya sekali sebulan. Bahan logistik (padi dan palawija) itu tidak boleh dikuras habis, melainkan disisakan untuk keperluan mendadak, seperti mengantisipasi gagal panen akibat cuaca dan serangan binatang yang merusak tanaman atau bahan untuk mengadakan syukuran jika ada salah satu anggota keluarga meninggal.
Berugak yang ada di depan rumah, di samping merupakan penghormatan terhadap rezeki yang diberikan Tuhan, juga berfungsi sebagai ruang keluarga, menerima tamu, juga menjadi alat kontrol bagi warga sekitar. Misalnya, kalau sampai pukul sembilan pagi masih ada yang duduk di berugak dan tidak keluar rumah untuk bekerja di sawah, ladang, dan kebun, mungkin dia sakit.
Sejak proses perencanaan rumah didirikan, peran perempuan atau istri diutamakan. Umpamanya, jarak usuk bambu rangka atap selebar kepala istri, tinggi penyimpanan alat dapur (sempare) harus bisa dicapai lengan istri, bahkan lebar pintu rumah seukuran tubuh istri. Membangun dan merehabilitasi rumah dilakukan secara gotong-royong meski makan-minum, berikut bahan bangunan, disediakan tuan rumah.Dalam masyarakat Sasak, rumah berada dalam dimensi sakral (suci) dan profan duniawi) secara bersamaan. Artinya, rumah adat Sasak disamping sebagai tempat berlindung dan berkumpulnya anggota keluarga juga menjadi tempat dilaksanakannya ritual-ritual sakral yang merupakan manifestasi dari keyakinan kepada Tuhan, arwah nenek moyang (papuk baluk) bale (penunggu rumah), dan sebaginya.
Perubahan pengetahuan masyarakat, bertambahnya jumlah penghuni dan berubahnya faktor-faktor eksternal lainya (seperti faktor keamanan, geografis, dan topografis) menyebabkan perubahan terhadap fungsi dan bentuk fisik rumah adat. Hanya saja, konsep pembangunannya seperti arsitektur, tata ruang, dan polanya tetap menampilkan karakteristik tradisionalnya yang dilandasi oleh nilai-nilai filosofis yang ditransmisikan secara turun temurun.
Pemilihan Waktu dan Lokasi
Untuk memulai membangun rumah, dicari waktu yang tepat, berpedoman pada papan warige yang berasal dari Primbon Tapel Adam dan Tajul Muluq. Tidak semua orang mempunyai kemampuan untuk menentukan hari baik, biasanya orang yang hendak membangun rumah bertanya kepada pemimpin adat. Orang Sasak di Lombok meyakini bahwa waktu yang baik untuk memulai membangun rumah adalah pada bulan ketiga dan bulan kedua belas penanggalan Sasak, yaitu bulan Rabiul Awal dan Zulhijjah pada kalender Islam. Ada juga yang menentukan hari baik berdasarkan nama orang yang akan membangun rumah. Sedangkan bulan yang paling dihindari (pantangan) untuk membangun rumah adalah pada bulan Muharram dan Ramadlan. Pada kedua bulan ini, menurut kepercayaan masyarakat setempat, rumah yang dibangun cenderung mengundang malapetaka, seperti penyakit, kebakaran, sulit rizqi, dan sebagainya.
Selain persoalan waktu baik untuk memulai pembangunan, orang Sasak juga selektif dalam menentukan lokasi tempat pendirian rumah. Mereka meyakini bahwa lokasi yang tidak tepat dapat berakibat kurang baik kepada yang menempatinya. Misalnya, mereka tidak akan membangun tumah di atas bekas perapian, bekas tempat pembuangan sampah, bekas sumur, dan pada posisi jalan tusuk sate atau susur gubug. Selain itu, orang Sasak tidak akan membangun rumah berlawanan arah dan ukurannya berbeda dengan rumah yang lebih dahulu ada. Menurut mereka, melanggar konsep tersebut merupakan perbuatan melawan tabu (maliq-lenget).
Sementara material yang dibutuhkan untuk membangun rumah antara lain: kayu-kayu penyangga, bambu, anyaman dari bambu untuk dinding, jerami dan alang-alang digunakan untuk membuat atap, kotaran kerbau atau kuda sebagai bahan campuran untuk mengeraskan lantai, getah pohon kayu banten dan bajur, abu jerami, digunakan sebagai bahan campuran untuk mengeraskan lantai.
Jumat, 01 Juli 2011
Architecture of Indonesia
Arsitektur keagamaan
Walaupun arsitektur keagamaan tersebar luas di seluruh pelosok Indonesia, seni arsitektur ini berkembang pesat di Pulau Jawa. Pengaruh sinkretisasi agama di Jawa meluas sampai ke dalam arsitektur, sehingga menghasilkan gaya-gaya arsitektur yang berkhas Jawa untuk bangunan-bangunan ibadah agama Hindu, Buddha, Islam, dan sampai ke umat yang berjumlah kecil yaitu Kristen.Sejumlah bangunan agama seperti candi, yang seringkali berukuran besar dan didisain secara kompleks, banyak dibangun di Pulau Jawa pada zaman kejayaan kerajaan Hindu-Buda Indonesia antara abad ke-8 sampai ke-14. Candi-candi Hindu tertua yang masih berdiri di Jawa terletak di Pegunungan Dieng. Diperkirakan dahulu terdapat sekitar empat ratus candi di Dieng yang sekarang hanya tersisa delapan candi. Pada awalnya, struktur bangungan-bangunan di Dieng berukuran kecil dan relatif sederhana. Akan tetapi tingkat kemahiran arsitektur di Jawa semakin meningkat. Dalam kurun waktu seratus tahun saja kerajaan kedua Mataram telah dapat membangun kompleks candi Prambanan di dekat Yogyakarta yang dianggap sebagai contoh arsitektur Hindu terbesar dan terbagus di Jawa.
Candi Borobudur, sebagai monumen umat Buddha yang tercantum di dalam daftar Situs Warisan Dunia UNESCO, dibangun oleh wangsa Syailendra antara tahun 750 sampai dengan 850 Masehi, tetapi kemudian ditinggalkan sesaat seketika Borobudur telah siap dibangun, merujuk pada saat mundurnya agama Buddha dan perpindahan kekuasaan ke sebelah timur Jawa. Borobodur memiliki sejumlah besar pahatan-pahatan menarik yang menampilkan cerita yang apabila dicermati mulai dari tingkat bawah sampai ke tingkat atas merupakan metafor peraihan pencerahan. Dengan mundurnya Kerajaan Mataram, sebelah timur Jawa menjadi pusat arsitektur keagamaan dengan gaya yang sangat menarik yang mencerminkan Siwaisme, Buddha dan pengaruh khas Jawa; sebuah fusi yang mencerminkan karakteristik agama di seluruh pulau Jawa.
Pada abad ke-15, Islam sudah jadi agama berkuasa di Jawa dan Sumatra, yaitu pulau-pulau yang paling banyak penduduknya. Seperti agama Hindu dan Buddha sebelumnya, pengaruh asing yang ikut agama baru ini menampung dan menafsirkan sedemikian rupa menghasilkan gaya-gaya arsitektur mesjid yang berkhas Jawa.
Arsitektur adat
Arsitektur adat adalah tempat aktivitas manusia yang berhubungan dengan bangunan atau wadah aktivitas dan lingkungan yang diwarnai oleh budaya dan adat istiadat setempat. Setiap suku bangsa di Indonesia mempunyai jenis arsitektur tradisional yang berbeda.Rumah tradisional Indonesia tidak didesain oleh arsiktek. Orang desa membuat rumahnya sendiri, atau desanya menyatukan sumber untuk membangun struktur dibawah bimbingan pemimpin tukang kayu.
0 komentar:
Posting Komentar